JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia mengasingkan rakyat setempat. Keterasingan rakyat terhadap proyek pengelolaan sumber daya alam telah lama terjadi di Desa Kolo Bawah, Baturube, dan Pandauke di Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Demi mengeksplorasi daerah Tiaka, lepas pantai Teluk Tolo, Medco dan Pertamina mendirikan pulau buatan seluas 100 hektar di kawasan terumbu karang.
-- Pius Ginting
Hal ini salah satunya yang memicu tuntutan tuntutan warga dan berujung pada bentrok yang menimbulkan dua korban jiwa dari pihak warga.
Kejadian itu berlangsung 22 Agustus 2011 di lokasi pengeboran minyak lepas pantai di Tiaka Kecamatan Mamosalato, Morowali, Sulawesi Tengah yang dikelola PT Medco dan Pertamina.
Menanggapi hal ini, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Pius Ginting, Kamis (25/8/2011) di Jakarta, menjelaskan demi mengeksplorasi daerah Tiaka, lepas pantai Teluk Tolo, Medco dan Pertamina mendirikan pulau buatan seluas 100 hektar di kawasan terumbu karang.
Terumbu karang merupakan rumah ikan di laut, dan daerah tersebut merupakan wilayah tangkapan nelayan. Berdasarkan penilitian WALHI pada tahun 2003 pendirian pulau buatan ini merusak ekosistem terumbu karang setempat seluas 44 hektar..
Sebelum pembangunan pulau dilakukan, 80 persen karang di gugus karang Tiaka dalam kondisi baik, juga ekosistem bagi ikan Napoleon Wrasse (
Cheilinus undulatus) dan kerang kima raksasa (
Tridacna Spp) yang terancam punah.
Materi penimbunan pembangun Pulau Tiaka diambil dari Desa Pandauke melewati Desa Kolo Bawah. Sekitar tiga juta ton pasir dan kerikil untuk tempat pulau fasilitas pengeboran ini dipindahkan sejauh enam kilometer.
Penduduk Desa Kolo Bawah yang terdiri dari 300 keluarga, 90 persen bermata pencaharian sebagai nelayan karena tanah di sekitar desa tidak subur untuk bercocok tanam. Terumbu karang Tiaka adalah tempat utama para nelayan itu mencari ikan selama bertahun-tahun.
Pengakuan para nelayan dan para penampung hasil laut dalam penitian WALHI 2003, semenjak daerah inti Terumbu Karang Tiaka dijadikan pulau buatan untuk pusat pengeboran migas JOB Pertamina- Medco Tomori Sulawesi, penghasilan para nelayan yang biasanya 15 kg ikan per hari turun drastis menjadi 5 kg per hari.
"Terkadang terpaksa pulang dengan tangan hampa karena berkurangnya jumlah dan jenis ikan," ucapnya. Himpitan yang dialami nelayan ini ditambah lagi larangan untuk mendekati terumbu karang yang merupakan sumber penghasilan mereka selama ini.
Berdasarkan perhitungan lembaga Yayasan Tanah Merdeka Palu, kerugian para nelayan di ketiga desa (Baturube, Kolo Bawah dan Pandauke) yang terkena dampak penimbunan Pulau Tiaka sebanyak 16,425 milyar per tahun.
Dengan perhitungan jumlah nelayan di ketiga desa itu ada 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari sekitar 10 kg ikan, sementara satu kg ikan dijual kepada pedagang penampung ikan setinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke pasar Luwuk (ibukota Kabupaten Banggara) setinggi Rp 17 ribu per kg, maka kerugian selama setahun = 365 (hari) x 300 (nelayan) x 10 (penuruan tangkapan) x Rp 15 ribu = Rp 16,425 miliar.
"Penghidupan masyarakat telah terenggut oleh perusahaan. Ini adalah salah satu contoh buruk nyata dari usaha tambang dan migas merebut ruang hidup warga. Kami telah memperingatkan perusahaan sejak tahun 2002. Perusahaan harus bertanggung jawab penuh hilangnya akses rakyat terhadap sumber penghidupan. Pimpinan perusahaan Medco Tomori harus diadili atas hilangnya nyawa rakyat," ujar Pius Ginting.